Sekedar Matahari Terbit ( Cerpen )

19.57 0 Comments

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiX_ImpwyRvZl6oeUWz6qe3BZtoUARKEjEPugPFhrFlTRDkNVpCKPTAwCS8-iOFDJXKzKap4mQ8fAXmnBDtoXR58TwIkAlcMu_NyuodQ3BTem80x9u0xL1JJz7YgzowvtUjJb5Ihx7Q9lNE/s1600/Sunrise+landscape+render+retouches.png

Kamarku menghadap ke arah sinar matahari pagi dan pada pagi hari di musim panas yang cerah hal itu akan membangunkanku dalam keadaan segar dan bugar, tak peduli sampai jam berapa aku bergadang semalam; aku akan bangun dan membuat sarapan, menonton TV, mandi. Jika masih jam enam pagi aku biasanya meminum segelas teh dan kembali ke kasur di mana aku akan tidur sebentar sampai jam tujuh dan bangun dengan rambut acak-acakan.
Jika aku menginap di tempat saudariku, aku tidur sampai anak-anak membangunkanku atau sampai dia datang, menghambur dari belakang sebuah taxi, yang mana saja yang lebih dulu. Aku memang gampang bangun dan penidur pulas.
Pagi ini aku bangun dengan terkejut, seolah jam alarm di kepalaku telah memberikanku sengatan listrik; cuaca di luar tidak cerah, kutarik korden dan langit terlihat berwarna abu-abu gelap, sama halnya dengan warna laut dan kelihatannya matahari tidak akan muncul sebelum besok.

Aku bangun dan turun ke bawah; jam dinding memberitahukanku bahwa sekarang hampir jam setengah tujuh. Aku membuat teh dan roti panggang, menuangkan sereal dan susu ke dalam mangkuk, menaruh semuanya di nampan dan membawanya ke kasurku.
Saudaraku bangun untuk siap-siap bekerja dan kudengar dia menabrak di sekitar kamar mandi, jadi aku turun ke bawah untuk membuat segelas teh. Dia turun ke dapur sekitar lima menit kemudian, mengenakan pakaian kerjanya, matanya hampir terpejam melawan pagi hari, rambutnya entah tegak berdiri ke arah yang tidak seharusnya atau tertempel ke bawah semalaman karena terhimpit bantal. Dia kebanyakan tidur di sisi kirinya, dia punya bekas lipatan di sisi kiri wajahnya dan rambut di sisi kepala tersebut kebanyakan berantakan.
“Pagi.” Kataku.
“Uh huh.”
Kutinggalkan dia untuk membuat apa yang ingin dimakannya dan kembali ke kamarku di mana aku menghabiskan teh dan roti panggangku, menyalakan radio dan kembali ke bawah selimut tipis. Kadang-kadang aku suka berpikir dan di suatu waktu aku suka langsung beringsut di kasur.
Pagi ini aku ingin berpikir sebentar.
***
Hari ini adalah hari ulang tahun ayahku; ibu tidak akan menyebutkannya. Saudaraku mungkin saja, hanya untuk membuat kehebohan, jadi aku akan mengawasinya ketika dia pulang kerja. Setiap tahun pada ulang tahun ayahku aku melukis wajahnya; tiap tahun dia terlihat sedikit berbeda. Aku seorang seniman. Nah, sudah kukatakan. Bukannya aku menggambar garis lebih lurus atau bundaran yang lebih realistis, seperti yang mereka ajarkan pada kita di sekolah. Aku hanya menangkap pesannya lebih jelas daripada orang lain. Lebih jujur. Aku tahu itu.
Aku membaca banyak buku juga, kebanyakan tentang seniman, dan aku melalui tahap ketika aku suka seniman tertentu atau sebuah gerakan. Dan aku mencoba melukis seperti mereka. Ketika ayahku kembali aku akan bisa mengatakan “ini adalah ayah saat aku masih berumur dua belas tahun dan aku sedang jatuh cinta dengan Monet” atau “ini adalah ayah saat hari ulang tahun yang ke-tiga puluh delapan, ketika aku masih berumur empat belas, dan ayah sudah pergi selama lima tahun, dan aku ingin melukis seperti Dante Gabriel Rossetti.” Dan dia akan melihat setiap lukisan dan tahu bahwa aku mencintainya dan tidak pernah melupakannya.
Tahun lalu aku menyetak kaos, menjual hampir semuanya di sekolah, beberapanya karena aku membujuk Kendra untuk menjualnya. Seseorang di pantai mengenakan baju yang berhasil kujual padanya.
Tepat ketika aku terobsesi dengan garis, garis sederhana. Itu merupakan pengembangan enam bulan obsesi yang kumiliki terhadap kaligrafi, yang keluar bersamaan dengan tahap kartunku, yang datang dari Liechtenstein dan Warhol, dan masih banyak lagi. Jadi kukeluarkan arang lukisku, dan kugantungkan kertas besar abu-abu A3 di papan dan mendudukkannya di lutut saat aku duduk di kasur.
Pada Sabtu pagi ketika ibuku berkerja, ayah akan membawaku ke kota dan aku akan mengajaknya berkeliling toko. Pada hari ulang tahunku yang ke delapan dia membelikanku sebuah mainan kuda-kudaan, yang asli, bukan untuk anak-anak. Di hari ulang tahunku yang ke Sembilan dia membelikanku kertas minyak. Di ulang tahunku yang ke enam dia membelikanku sekotak 99 krayon.
“Gambar aku,” katanya.
“Ya ampun Ayah, aku tidak bisa.”
Suatu pagi aku terbangun dan sudah ada sebuah buku di atas bantalku tentang Picasso atau Chagall.
Aku harus pergi ke sekolah, aku benar-benar harus pergi. Aku bukan salah satu anak-anak itu yang takut pergi; aku tidak phobia atau apapun. Aku tidak dijahili dan aku tidak dungu. Aku hanya tidak menemukan alasan yang bagus untuk menyia-nyiakan hariku di kelas untuk belajar fisika atau kewarganegaraan atau agama Budha. Aku bisa mempelajari semua omong kosong itu di perpustakaan. Phil, pengawas kelas sebelas akan menyuruhku untuk belajar keras besok, jika aku masuk. Dalam dua bulan aku sudah menghadapi ujian. Kami membuat perjanjian, aku berjanji akan masuk sekolah dan dia berkata bahwa dia akan melipatgandakannya dengan EWO.
Aku akan mengatakan yang sebenarnya kepada Phil, hari ini adalah hari ulang tahun ayahku dan aku akan menghabiskan waktuku bersamanya.
Jadi aku menghabiskan beberapa saat memikirkan rambutnya yang kupikir mungkin lebih abu-abu daripada tahun lalu; aku tahu rambut tidak menua secara bersamaan setiap tahun, tapi aku membuat rambutnya lebih panjang tahun ini. Dan di pikiranku, aku memberikannya tambahan beberapa kilo juga. Tapi aku tetap menjaga senyumnya di kepalaku, mungkin sedikit bisu, seperti ketika dia sedang senang tapi bingung, atau mencoba untuk mengerti aku ketika aku berceloteh kepadanya.
Saatnya untuk melukis kepala dan pundaknya, jadi aku akan menggambarkannya mengenakan kaos yang memperlihatkan lehernya dan keringkongannya dan betapa kuatnya dia dan bagaimana matanya berkilau dan bagaimana alisnya sangat lurus dan masih hitam.
Aku berpikir berapa banyak yang ingin kutunjukkan dan berapa bayak yang ingin kukatakan padanya.
Lalu aku mengambil sebatang arang lukis dan benar-benar melakukannya. Aku mengambil kapur untuk menambah kesan warna matanya, lalu kapur lain untuk menggambar mulutnya.
Dan di sanalah dia.
Ayah.
Di sanalah ayah.
 
 
Selesai

Dzahaby Razan

Penulis di Blog CatatanHarianHaby . Saat ini bersekolah di MANBA Kelas Akselerasi , dan berumur 15 Tahun . Hobi Bermain Gitar dan Bermain Bulutangkis untuk PB.Dasadigdaya . Google

0 komentar: