Undian ( Cerpen )
Pada suatu pagi tanggal 27 Juni, cuacanya
cerah dengan kehangatan musim panas menggantung di udara; bunga-bunga
bermekaran dan rerumputan mengeluarkan warna kehijauan yang terang benderang.
Masyarakat desa mulai berkumpul di alun-alun kota yang berada di antara kantor
pos dan bank pada sekitar jam sepuluh pagi; di beberapa kota lainnya yang
mempunyai populasi lebih banyak, acara penarikan undian dapat memakan waktu
sampai dua hari dan harus sudah dimulai pada tanggal 2 Juni. Namun di desa ini,
yang hanya mempunyai sekitar tiga ratus penduduk, proses penarikan undian hanya
akan memakan waktu kurang dari dua jam, sehingga acaranya dapat dimulai pada
jam sepuluh pagi dan orang-orang masih akan sempat pulang ke rumah dan
menikmati santap siang mereka.
Anak-anak jelas telah berkumpul duluan di
sana. Sekolah baru saja memasuki masa liburan musim panas, dan rasa kebebasan
telah merasuk ke dalam jiwa mereka; mereka cenderung berkumpul bersama-sama
dengan tenang selama sebentar sebelum mereka memulai permainan mereka dengan
riuh dan ramai. Topik pembicaraan mereka masih saja tentang sekolah, guru,
buku, dan hukuman-hukuman yang pernah mereka terima. Bobby Martin telah
memenuhi kantongnya dengan bebatuan, dan anak-anak yang lain pun mengikutinya
dan mulai memilih batu yang paling bundar dan halus; Bobby, Harry Jones, dan
Dickie Delacroix—para warga melafalkannya ‘Dellacroy’—akhirnya membuat tumpukan
besar batu-batu kerikil di salah satu sudut alun-alun kota dan menjaganya agar
tidak diambil oleh anak-anak yang lain. Para anak-anak perempuan berdiri di
sisi lain dan hanya saling berbincang di antara mereka sambil melirik ke arah
para anak lelaki. Dan anak-anak yang masih sangat kecil bergulingan di tanah
atau menempel di tangan kakak mereka.
Tidak lama kemudian, kaum pria mulai
berkumpul dan mengamati anak-anak mereka sambil mengobrol tentang perkebunan,
hujan, traktor, dan pajak. Mereka berdiri bersama-sama, jauh dari tumpukan
kerikil, dan mereka saling bercanda dengan suara yang dipelankan dan tertawa
mereka digantikan dengan seutas senyuman halus. Kaum wanita, yang mengenakan
pakaian sehari-hari mereka yang telah lusuh, mulai berdatangan juga. Mereka
saling menyapa dan bertukar gossip sambil berlalu pergi untuk bergabung dengan
suami mereka. Kemudian para wanita, yang telah berdiri di samping suami mereka,
mulai memanggil anak-anaknya, dan anak-anak pun menurutinya dengan enggan
setelah dipanggil empat atau lima kali. Bobby Martin mengelak ketika ibunya
hendak menangkapnya, dia tertawa dan berlari kembali ke tumpukan kerikil.
Ayahnya menegurnya dengan keras, dan Bobby pun dengan cepat memposisikan
dirinya di antara ayah dan kakaknya.
Acara penarikan undian—sama halnya dengan
festival tari, klub remaja, dan acara Halloween—diselenggarakan oleh Mr.
Summers yang mempunyai waktu dan tenaga untuk dicurahkan pada kegiatan
masyarakat. Dia adalah pria periang yang memiliki wajah yang bundar serta
bisnis pertambangan batu-bara, dan orang-orang merasa kasihan padanya karena
dia tidak memiliki anak dan istrinya selalu marah-marah padanya. Ketika dia
tiba di alun-alun sambil membawa kotak hitam yang terbuat dari kayu,
orang-orang mulai berbisik satu sama lain, kemudian dia melambaikan tangannya
dan berkata, “Maaf, aku sedikit terlambat hari ini.” Kepala kantor pos yang
bernama Mr. Graves mengikutinya dari belakang sambil membawa sebuah bangku
berkaki tiga, kemudian menaruhnya di tengah alun-alun, lalu Mr. Summers
meletakkan kotak hitam yang dipegangnya di atas bangku tersebut. Dan ketika Mr.
Summers berkata, “Ada yang bersedia menolongku?" semua orang tampak
ragu-ragu. Mr. Martin dan anak sulungnya, Baxter, melangkah maju untuk
memegangi kotak tersebut di atas bangku agar seimbang sementara Mr. Summers mengaduk
kertas-kertas yang ada di dalamnya.
Perlengkapan asli untuk penarikan undian
telah lama hilang, dan kotak hitam yang sekarang berdiri tegak di atas bangku
itu telah digunakan bahkan sebelum Warner Tua, yang merupakan orang tertua yang
ada di desa tersebut, lahir. Mr. Summers sering membujuk masyarakat untuk
membuat kotak yang baru, tapi tidak ada yang menyukai gagasannya, karena
menurut mereka menggunakan kotak hitam tersebut merupakan tradisi turun-temurun
yang tidak boleh tergantikan. Ada sebuah cerita yang mengisahkan bahwa kotak
hitam tersebut dibuat dari puing-puing kotak hitam sebelumnya oleh para
pendahulu mereka yang mendirikan desa tersebut. Setiap tahunnya, setelah
prosesi penarikan undian selesai, Mr. Summers mulai membicarakan rencana
pembuatan kotak yang baru, namun setiap tahun juga, topik tersebut dibiarkan
menguap dan perlahan menghilang dari buah bibir setiap orang, tanpa sedikitpun
usaha untuk mewujudkannya. Kotak hitam tersebut menjadi lebih lusuh daripada
sebelumnya; sekarang kotak itu tampak tidak lagi berwarna hitam sepenuhnya. Di
satu sisi, catnya mengelupas dan menunjukkan warna yang sebenarnya, dan di
beberapa tempat catnya telah luntur atau bernoda.
Mr. Martin dan putra sulungnya, Baxter,
memegangi kotak tersebut dengan erat di atas bangku sampai Mr. Summers selesai
mengaduk kertas-kertas di dalamnya. Karena banyaknya ritual yang telah
dilupakan atau diabaikan, Mr. Summers berhasil membujuk warga menggunakan
lembaran kertas untuk menggantikan kepingan kayu yang telah digunakan selama
beberapa generasi. Mr. Summers berkilah bahwa menggunakan kepingan kayu
merupakan ide yang bagus, tapi itu hanya berlaku ketika desa mereka masih
kecil, namun sekarang populasinya telah berkembang menjadi lebih dari tiga
ratus orang dan kemungkinan akan terus bertambah, sehingga harus menggunakan
sesuatu yang dapat dimuat di dalam kotak dengan lebih mudah. Semalam sebelum
acara penarikan undian, Mr. Summers dan Mr. Graves membuat lembaran kertas
tersebut lalu menaruhnya di dalam kotak, kemudian kotaknya dikunci di dalam
brankas perusahan Mr. Summers sampai Mr. Summers siap untuk membawanya ke
alun-alun kota keesokan harinya. Di hari-hari lain, kotak tersebut disimpan di
suatu tempat, terkadang di tempat lain; kotak tersebut telah menghabiskan
waktunya selama satu tahun di gudang Mr. Graves dan tahun lalu di bawah lantai
kantor pos, dan terkadang ditaruh di toko kelontong milik keluarga Martin dan
dibiarkan terbengkalai di sana.
Ada satu hal merepotkan yang harus
diselesaikan sebelum Mr. Summers mengumumkan bahwa acara penarikan undiannya
dimulai. Dia harus membuat daftar nama-nama kepala keluarga beserta anggota
keluarganya. Ada ritual pelantikan khusus bagi Mr. Summers, selaku panitia
penyelenggara penarikan undian, yang dilakukan oleh kepala kantor pos; dulu,
seingat warga, ada sebuah lagu yang dinyanyikan oleh panitia penyelenggara.
Namun itu hanyalah lagu yang dinyanyikan dengan nada monoton dan tidak dengan
sungguh-sungguh setiap tahunnya; beberapa warga yakin bahwa ketua panitia
dulunya harus berdiri selama menyanyikannya, yang lain yakin bahwa ketua panitia
harus berjalan di antara warga, namun bertahun-tahun yang lalu bagian ritual
ini pun ditinggalkan. Ada juga ritual penghormatan yang dulunya harus dilakukan
oleh ketua panitia kepada setiap orang yang maju untuk menarik undian, namun
ini juga telah berubah seiring berlalunya waktu, sehingga sekarang panitia
penyelenggara hanya diwajibkan untuk berbicara singkat kepada setiap orang yang
maju mendekat. Mr. Summers sangat baik dalam menangani semua ini; dengan
dibalut kemeja putih dan celana jins biru dan dengan satu tangan diletakkan di
atas kotak sambil berbicara tak berkesudahan dengan Mr. Graves dan keluarga
Martin, dia tampak sangat layak sebagai ketua panitia dan terlihat penting di
mata warganya.
Ketika Mr. Summers selesai berbicara dan
mulai berbalik menghadap warga, Mrs. Hutchinson datang dengan tergesa-gesa,
lengan kausnya melorot turun sampai ke bawah pundaknya, lalu dia mencari tempat
di kerumunan warga. “Aku lupa kalau hari ini penarikan undian karena sibuk
bersih-bersih,” ujarnya pada Mrs. Delacroix yang berdiri di sampingnya, dan
mereka pun tertawa renyah. “Kukira suamiku ada di belakang rumah dan sedang
mengumpulkan kayu bakar,” lanjut Mrs. Hutchinson. “kemudian aku melihat keluar
jendela dan anak-anak sudah tidak ada, lalu aku ingat kalau ini tanggal dua
puluh tujuh dan segera berlari kemari.” Dia mengeringkan tangan dengan celemeknya,
lalu Mrs. Delacroix berkata, “Kau tidak terlambat. Mereka masih berbicara di
sana.”
Mrs. Hutchinson menjulurkan lehernya ke
atas dan melihat suami dan anaknya sedang berdiri di barisan depan. Dia menepuk
pelan lengan Mrs. Delacroix sebagai tanda perpisahan dan mulai menerobos
melewati kerumunan warga. Orang-orang berhumor sambil memberikannya jalan untuk
lewat; dua atau tiga orang berceletuk dengan suara yang cukup keras sampai bisa
terdengar ke barisan depan, “Ini dia Bini-mu, Hutchinson,” dan “Bill, dia
datang juga rupanya.” Mrs. Hutchinson akhirnya sampai juga di tempat suaminya,
dan Mr. Summers yang telah sedari tadi menunggunya berkata dengan nada riang,
“Kami pikir kami harus memulai acara ini tanpa dirimu, Tessie.”
Mrs. Hutchinson menjawabnya dengan
tersenyum, “Kau tidak mau aku meninggalkan piring-piring kotorku di rumah,
‘kan, Joe?” kemudian tawa pelan menggema di kerumunan warga.
“Baiklah,” kata Mr. Summers dengan nada
serius, “sepertinya lebih baik kita memulainya sekarang, jadi kita dapat segera
pulang dan kembali bekerja. Apa ada yang tidak hadir?”
“Dunbar.” Sahut beberapa orang. “Dunbar.
Dunbar.”
Mr. Summers melihat kembali daftar yang
dibawanya. “Clyde Dunbar.” Ujarnya. “Aku baru ingat, bukankah dia mengalami
patah kaki? Siapa yang akan mewakilinya menarik undian?”
“Aku,” sahut seorang wanita dan Mr. Summers
berpaling melihatnya. “Istri dapat mewakili suaminya.”
Mr. Summers menjawab, “Bukankah kau punya
seorang putra yang telah dewasa, Janey? Dia dapat menggantikanmu melakukannya.”
Walaupun Mr. Summers dan semua warga tahu jawabannya, namun sudah menjadi
kewajiban seorang penyelenggara undian untuk menanyakan pertanyaan semacam itu
secara resmi. Mr. Summers menunggu dengan sebuah ekspresi yang menunjukkan
ketertarikan saat Mrs. Dunbar akhirnya menjawab, “Horace masih berumur enam
belas tahun.” Katanya dengan nada menyesal. “Sepertinya aku harus menggantikan
suamiku tahun ini.”
“Baiklah.” Kata Mr. Summers. Dia membuat
catatan di daftar yang sedang dipegangnya. Kemudian dia bertanya, “Apakah
Watson akan menarik undian tahun ini?”
Seorang anak bujang dengan tubuh tinggi mengangkat
tangannya. “Di sini,” sahutnya. “Aku akan menarik undian untuk ibuku dan aku
sendiri.” Dia mengedipkan matanya dengan tegang dan menundukkan kepalanya
ketika beberapa suara dari arah kerumanan berkata, “Dia anak yang baik.” Dan
“Syukurlah kalau ibumu memiliki seorang anak lelaki untuk mewakilinya.”
“Oke,” kata Mr. Summers, “sepertinya
sekarang sudah lengkap. Apakah Warner Tua datang?”
“Aku di sini,” sahut sebuah suara, dan Mr.
Summers pun mengangguk.
Tiba-tiba semua orang hening ketika Mr.
Summers berdeham dan memeriksa daftarnya. “Semuanya sudah siap?” tanyanya.
“Sekarang aku akan memanggil nama-nama kepala keluarga dan orang yang kupanggil
harap maju ke depan mengambil kertas yang ada di dalam kotak. Setelah itu,
jangan membuka kertasnya sampai semua orang selesai dipanggil. Apa semuanya
sudah jelas?”
Semua warga sudah mendengarkan ini
berkali-kali sehingga mereka tidak terlalu memperhatikannya lagi; kebanyakan
dari mereka hanya diam saja, beberapanya membasahi bibir mereka, dan tidak
melirik kesana-kemari. Kemudian Mr.Summers mengangkat satu tangannya dan
memanggil, “Adams.” Seorang pria maju ke depan. “Hai, Steve.” Sambut Mr.
Summers, dan Mr. Adams menjawab, “Hai, Joe.” Mereka saling tersenyum kaku
kepada satu sama lain. Kemudian Mr. Adams memasukkan tangannya ke dalam kotak
dan mengambil sebuah kertas yang terlipat. Dia menggenggamnya dengan erat dan
kembali ke tempatnya semula di mana dia berdiri sedikit lebih jauh dari
keluarganya tanpa melirik ke tangan yang memegang kertas tersebut.
“Allen.” Panggil Mr. Summers. “Anderson…
Bentham.”
“Sepertinya akhir-akhir ini penarikan
undian semakin sering dilakukan.” Ujar Mrs. Delacroix kepada Mrs. Graves di
barisan belakang. “Kalau tidak salah baru minggu lalu kita mengadakannya.”
Lanjutnya.
“Tak terasa waktu berjalan begitu cepat.”
Jawab Mrs. Graves.
“Clark… Delacroix.”
“Itu dia suamiku.” Kata Mrs. Delacroix. Dia
menahan napas saat suaminya maju ke depan.
“Dunbar,” panggil Mr. Summers, dan Mrs.
Dunbar maju ke depan dengan langkah yang pasti ketika seorang wanita berseru.
“Ayo maju, Janey,” dan yang lain menyahut, “Nah, itu dia.”
“Selanjutnya giliran kami lagi.” Ujar Mrs.
Graves. Dia memperhatikan dengan seksama ketika Mr. Graves maju dari samping
kotak, memberi salam kepada Mr. Summers dengan nada yang dingin, lalu memilih
selipat kertas dari dalam kotak. Sekarang, di kerumunan warga, beberapa orang
sedang menggenggam selembar kertas yang dilipat sambil memutar-mutarnya di
tangan mereka dengan gelisah. Mrs. Dunbar yang saat itu memegang lipatan kertas
berdiri di sana dengan kedua putranya.
“Harburt… Hutchinson.”
“Ayo maju ke sana, Bill,” kata Mrs.
Hutchinson, dan orang-orang yang berada di dekat mereka tertawa.
“Jones.”
“Ada yang bilang,” ujar Mr Adams kepada
Warner Tua yang berdiri di sebelahnya, “kalau desa di utara berencana untuk
berhenti mengadakan penarikan undian.”
Warner Tua menjawab sambil mendengus,
“Dasar mereka orang-orang bodoh,” jawabnya. “Mereka mau-maunya mendengarkan
kata anak-anak muda. Kalau semua kata mereka dituruti, nantinya mereka bakal
menghasut semua orang untuk tinggal di gua saja, tidak akan ada lagi yang mau
bekerja dan hidup dengan santai-santai. Kalau dulu kita berkata, ‘Undian di
bulan Juni, dan jagung pun akan tumbuh subur.’ Maka nantinya bisa-bisa kita
makan sup rumput dan biji-bijian saja. Pokoknya, undian harus selalu
diselenggarakan,” tambahnya dengan tegas. “Bahkan sekarang saja keadaannya
sudah cukup buruk karena Joe Summers muda hanya mengumbar lelucon di depan
sana.”
“Beberapa desa bahkan sudah tidak lagi menyelenggarakan
undian.” Kata Mrs. Adams.
“Mereka hanya mencari-cari masalah saja,” komentar
Warner Tua dengan gigih. “Dasar orang-orang gila.”
“Martin.” Dan Bobby Martin pun
memperhatikan ayahnya maju ke depan. “Overdyke… Percy.”
“Kuharap mereka dapat mempercepatnya,” kata
Mrs. Dunbar kepada putra sulungnya. “Kuharap mereka dapat lebih cepat.”
“Mereka sudah hampir selesai,” jawab
anaknya.
“Kau harus siap-siap berlari dan
memberitahu ayahmu,” kata Mrs. Dunbar.
Mr. Summers memanggil namanya sendiri dan maju
tepat di depan kotak tersebut dan memilih satu lipatan kertas. Kemudian dia
memanggil, “Warner.”
“Sudah tujuh puluh tujuh kali aku
menghadiri acara penarikan undian,” ujar Warner Tua sembari dia berjalan
melewati kerumunan warga agar dapat maju ke depan. “Tujuh puluh tujuh kali.”
“Watson.” Seorang anak remaja berbadan
tinggi maju dengan langkah yang canggung. Seseorang berujar, “Jangan cemas,
Jack,” dan Mr. Summers berkata, “Santai saja, nak.”
“Zanini.”
Setelah itu semua orang pun hening, dan
menahan napas mereka, sampai Mr. Summers mengangkat lipatan kertas miliknya dan
berkata, “Baiklah, mari kita buka kertas masing-masing.” Selama satu menit
tidak ada yang berani bergerak, dan akhirnya semua kertas telah terbuka.
Tiba-tiba semua kaum wanita mulai berbicara sekaligus, “Siapa yang dapat?”
“Apakah keluarga Dunbar?” “Apa keluarga Watson?” kemudian sebuah suara berkata,
“Bill Hutchinson yang mendapatkannya.”
“Pergilah dan beritahu ayahmu,” perintah
Mrs. Dunbar kepada anak sulungnya.
Orang-orang mulai melihat ke arah keluarga
Hutchinson. Bill Hutchinson hanya dapat berdiri tanpa berkata apa-apa sambil
menatap kertas di tangannya. Tiba-tiba Tessie Hutchinson berteriak kepada Mr.
Summers, “Kau tidak memberikannya cukup waktu untuk memilih kertas yang diinginkannya.
Aku melihatnya sendiri. Ini tidak adil!”
“Kau harus menerima hasil ini, Tessie.”
Sahut Mrs. Delacroix, dan Mrs. Graves pun menambahkan, “Semuanya diberikam
kesempatan yang sama.”
“Diamlah, Tessie,” kata Bill Hutchinson.
“Baiklah, mohon perhatiannya,” ujar Mr.
Summers, “kita sudah menyelesaikan tahap pertama dengan sangat cepat, sekarang
kita harus melakukannya dengan lebih cepat agar dapat selesai tepat pada
waktunya.” Dia mengamati daftarnya yang lain. “Bill,” sahutnya, “kau menarik
undian untuk keluarga Hutchinson. Apa kau punya keluarga lain di dalam
keluargamu?”
“Ada Don dan Eva,” teriak Mrs. Hutchinson.
“Minta mereka menarik undiannya juga!”
“Anak perempuan menarik undian dengan
keluarga suami mereka, Tessie,” ujar Mr. Summers dengan pelan. “Kita semua
sudah tahu itu.”
“Ini tidak adil,” kata Tessie.
“Kurasa tidak ada lagi yang lain, Joe.”
Ujar Bill Hutchinson dengan nada menyesal. “Anak-anak perempuanku menarik
undian dengan keluarga suami mereka; itu peraturan yang adil. Dan hanya ada
anak-anakku di dalam keluargaku.”
“Kalau begitu, kau menarik undian untuk
keluargamu,” jelas Mr. Summers, “dan kau juga yang menarik undian untuk seluruh
keluarga Hutchinson, benar begitu?”
“Benar,” jawab Bill Hutchinson.
“Berapa anak-anakmu yang ada sekarang,
Bill?” Tanya Mr. Summers dengan nada yang resmi.
“Tiga,” jawabnya. “Ada Bill Jr., Nancy, dan
si kecil Dave. Lalu Tessie dan aku.”
“Baiklah, kalau begitu,” ujar Mr. Summers.
“Harry, sudah kau ambil kembali kertas-kertasnya?”
Mr. Graves mengangguk dan mengangkat
kertas-kertas yang semula dipegang oleh semua orang. “Masukkan ke dalam kotak,”
perintah Mr. Summers. “Ambil juga kertas milik Bill lalu masukkan juga.”
“Kurasa kita harus mengulanginya dari
awal,” celetuk Mrs. Hutchinson sepelan mungkin. “Sudah kubilang ini tidak adil.
Kau tidak memberikannya waktu yang cukup. Semua orang melihatnya.”
Mr. Graves mengeluarkan semua kertas yang
tersisa di dalam kotak, lalu memilih lima kertas dan memasukkannya ke dalam
kotak. Angin berhembus menghempaskan kertas-kertas yang ditumpahkan.
“Dengarkan aku,” Mrs. Hutchinson berbicara
kepada semua orang yang ada di sekitarnya.
“Siap, Bill?” Tanya Mr. Summers, dan Bill
Hutchinson melirik sekejap ke arah istri dan anak-anaknya, lalu mengangguk.
“Ingat,” kata Mr. Summers, “ambil selembar
dan jangan membukanya sampai semuanya selesai menarik. Harry, kau tolong bantu
Dave kecil.” Mr. Graves memegang tangan anak tersebut yang dengan menurut maju
bersamanya ke depan kotak. “Ambil selembar kertas dari dalam kotak, Davy.” Ujar
Mr. Summers. Davy pun memasukkan tangannya ke dalam kotak dan tertawa. “Ambil
selembar saja.” lanjut Mr. Summers. “Harry, kau yang pegang kertasnya.” Mr.
Graves mengambilnya dari tangan Dave yang menggenggam erat kertas tersebut,
lalu memegangnya sementara Dave kecil hanya berdiri di sampingnya dan
memandangnya dengan ekpresi bertanya-tanya.
“Selanjutnya Nancy,” sahut Mr. Summers.
Nancy telah berumur dua belas tahun, dan teman-teman sekolahnya bernapas dengan
berat ketika dia maju ke depan sembari merapikan roknya, lalu memilih satu
lembar kertas dari dalam kotak. “Bill Jr.,” panggil Mr. Summers, dan Billy,
dengan wajah yang memerah dan dengan kaki yang besar, hampir menendang kotak
tersebut saat dia mengambil selembar kertas. “Tessie,” panggil Mr. Summers. Dia
ragu-ragu sebentar, lalu mengedarkan tatapannya dengan tajam ke sekelilingnya.
Akhirnya dia pun mengatupkan bibirnya dengan erat dan maju ke depan kotak. Dia
mengambil selembar kertas dengan cepat lalu memegangnya di belakang.
“Bill,” panggil Mr. Summers, kemudian Bill
Hutchinson memasukan tangannya ke dalam kotak dan memutar-mutarnya di sana,
lalu mengeluarkan tangannya dengan secarik kertas di genggamannya.
Semua warga hanya berdiam diri. Seorang
anak perempuan berbisik pelan, “Kuharap bukan Nancy,” dan suara bisikannya pun
bergema dan terdengar sampai ke pinggir barisan.
“Semuanya sudah tidak seperti dulu lagi.”
Kata Warner Tua dengan suara yang jelas. “Orang-orang sudah tidak lagi bersikap
sama seperti dulu.”
“Baiklah,” kata Mr. Summers. “Buka
kertasnya. Harry, tolong kau buka kertas milik Dave kecil.”
Mr. Graves membuka lipatan kertasnya dan
semua orang mendesah saat dia mengangkat kertas tersebut dan semua orang dapat
melihat kalau kertas tersebut kosong. Nancy dan Bill Jr. membuka kertas mereka
secara bersama-sama, lalu keduanya tersenyum berseri-seri dan tertawa. Mereka
kemudian berbalik dan mengangkat kertas mereka sampai di atas kepala.
“Tessie,” sahut Mr. Summers. Dia hanya diam
saja, kemudian Mr. Summers melirik Bill Hutchinson, dan Bill pun membuka
lipatan kertasnya lalu menunjukkanya kepada semua orang. Kertasnya kosong.
“Tessie yang mendapatkannya,” ujar Mr.
Summers dan suaranya terpotong oleh seseorang. “Tunjukkan kepada kami kertas
milik Tessie, Bill.”
Bill Hutchinson berjalan menuju tempat
istrinya dan menarik paksa kertasnya dari genggamannya. Ada titik hitam di
kertasnya, titik hitam yang telah dibuat Mr. Summers semalam dengan pensil di
kantor perusahaannya. Bill Hutchinson mengangkat kertasnya dan semua warga pun
mulai ramai.
“Baiklah,” ujar Mr. Summers. “Mari kita
selesaikan ini dengan cepat.”
Walaupun warga telah melupakan banyak
bagian ritualnya dan juga kotak hitam yang asli, namun mereka masih memakai
batu. Tumpukan batu yang telah dibuat oleh anak-anak sebelumnya telah siap; ada
banyak batu di tanah bersama dengan kertas-kertas yang telah dihembuskan angin
sebelumnya. Mrs. Delacroix memilih batu yang sangat besar sehingga ia harus
mengambil dengan kedua tangannya, kemudian dia berbalik menghadap Mrs. Dunbar,
“Ayo,” sahutnya. “Ayo, cepat.”
Mrs. Dunbar menggenggam batu kecil di kedua
tangannya, lalu menjawab dengan napas yang terputus-putus, “Aku tidak bisa
berlari. Kau duluan saja, nanti aku akan menyusul.”
Anak-anak sudah siap dengan batu mereka,
dan seseorang memberikan Davy kecil beberapa batu kerikil.
Tessie Hutchinson sekarang berada di
tengah-tengah kerumunan warga. Dia mengangkat tangannya dengan putus asa ketika
para warga maju ke arahnya. “Ini tidak adil,” ujarnya. Sebongkah batu menimpa
sisi kepalanya. Warner Tua berkata, “Ayo, semuanya, ayo.” Steve Adams berada di
depan kerumunan warga bersama dengan Mrs. Graves yang berada di sampingnya.
Selesai
0 komentar: